Laman

Selasa, 06 Desember 2011

HABIB MUHAMMAD BIN HUSEIN AL-IDRUS (Habib Neon)



Ulama yang Berjuluk Habib Neon Dia salah seorang ulama yang menjadi
penerang umat di zamannya. Cahaya
keilmuan dan ahlaqnya menjadi
teladan bagi mereka yang mengikuti
jejak ulama salaf Suatu malam, beberapa tahun lalu,
ketika ribuan jamaah tengah
mengikuti taklim di sebuah masjid di
Surabaya, tiba-tiba listrik padam.
Tentu saja kontan mereka risau,
heboh. Mereka satu persatu keluar, apalagi malam itu bulan tengah
purnama. Ketika itulah dari kejauhan
tampak seseorang berjalan menuju
masjid. Ia mengenakan gamis dan
sorban putih, berselempang kain rida
warna hijau. Dia adalah Habib Muhammad bin Husein bin Zainal
Abidin bin Ahmad Alaydrus yang ketika lahir ia diberi nama Muhammad Masyhur. Begitu masuk ke dalam masjid, aneh
bin ajaib, mendadak masjid terang
benderang seolah ada lampu neon
yang menyala. Padahal, Habib
Muhammad tidak membawa obor atau
lampu. Para jamaah terheran-heran. Apa yang terjadi? Setelah
diperhatikan, ternyata cahaya terang
benderang itu keluar dari tubuh sang
habib. Bukan main! Maka, sejak itu
sang habib mendapat julukan Habib
Neon … Habib Muhammad lahir di Tarim,
Hadramaut, pada 1888 M. Meski dia
adalah seorang waliyullah,
karamahnya tidak begitu nampak di
kalangan orang awam. Hanya para
ulama atau wali yang arif sajalah yang dapat mengetahui karamah Habib
Neon. Sejak kecil ia mendapat
pendidikan agama dari ayahandanya,
Habib Husein bin Zainal Abidin
Alaydrus. Menjelang dewasa ia
merantau ke Singapura selama beberapa bulan kemudian hijrah ke
ke Palembang, Sumatra Selatan,
berguru kepada pamannya, Habib
Musthafa Alaydrus, kemudian
menikah dengan sepupunya, Aisyah
binti Musthafa Alaydrus. Dari pernikahan itu ia dikaruniai Allah tiga
anak lelaki dan seorang anak
perempuan. Tak lama kemudian ia hijrah bersama
keluarganya ke Pekalongan, Jawa
Tengah, mendampingi dakwah Habib
Ahmad bin Tholib Al-Atthas. Beberapa
waktu kemudian ia hijrah lagi, kali ini
ke Surabaya. Ketika itu Surabaya terkenal sebagai tempat
berkumpulnya para ulama dan awliya,
seperti Habib Muhammad bin Ahmad
al-Muhdhor, Habib Muhammad bin
Idrus al-Habsyi, Habib Abu Bakar bin
Umar bin Yahya. Selama mukim di Surabaya, Habib
Muhammad suka berziarah, antara lain
ke makam para wali dan ulama di
Kudus, Jawa Tengah, dan Tuban, Jawa
Timur. Dalam ziarah itulah, ia konon
pernah bertemu secara ruhaniah dengan seorang wali kharismatik,
(Alm) Habib Abu Bakar bin
Muhammad Assegaf, Gresik. Open House Seperti halnya para wali yang lain,
Habib Muhammad juga kuat dalam
beribadah. Setiap waktu ia selalu
gunakan untuk berdzikir dan
bershalawat. Dan yang paling
mengagumkan, ia tak pernah menolak untuk menghadiri undangan
dari kaum fakir miskin. Segala hal
yang ia bicarakan dan pikirkan selalu
mengenai hal-hal yang berkaitan
dengan kebenaran agama, dan tak
pernah berbicara mengenai masalah yang tak berguna. Ia juga sangat memperhatikan
persoalan yang dihadapi oleh orang
lain. Itu sebabnya, setiap jam 10 pagi
hingga waktu Dhuhur, ia selalu
menggelar open house untuk menmui
dan menjamu para tamu dari segala penjuru, bahkan dari mancanegara.
Beberapa tamunya mengaku,
berbincang-bincang dengan dia
sangat menyenangkan dan nyaman
karena wajahnya senantiasa ceria dan
jernih. Sedangkan waktu antara Maghrib
sampai Isya ia perguankan untuk
menelaah kitab-kitab mengenai amal
ibadah dan akhlaq kaum salaf. Dan
setiap Jumat ia mengelar pembacaan
Burdah bersama jamaahnya. Ia memang sering diminta nasihat
oleh warga di sekitar rumahnya,
terutama dalam masalah kehidupan
sehari-hari, masalah rumahtangga,
dan problem-problem masyarakat
lainnya. Itu semua dia terima dengan senang hati dan tangan terbuka. Dan
konon, ia sudah tahu apa yang akan
dikemukakan, sehingga si tamu
manggut-manggut, antara heran dan
puas. Apalagi jika kemudian
mendapat jalan keluarnya. “Itu pula yang saya ketahui secara langsung.
Beliau adalah guru saya,” tutur Habib Mustafa bin Abdullah Alaydrus,
kemenakan dan menantunya, yang
juga pimpinan Majelis Taklim Syamsi
Syumus, Tebet Timur Dalam Raya,
Jakarta Selatan. Di antara laku mujahadah (tirakat)
yang dilakukannya ialah berpuasa
selama tujuh tahun, dan hanya
berbuka dan bersantap sahur dengan
tujuh butir korma. Bahkan pernah
selama setahun ia berpuasa, dan hanya berbuka dan sahur dengan
gandum yang sangat sedikit. Untuk
jatah buka puasa dan sahur selama
setahun itu ia hanya menyediakan
gandum sebanyak lima mud saja. Dan
itulah pula yang dilakukan oleh Imam Gahazali. Satu mud ialah 675 gram.
”Aku gemar menelaah kitab-kitab tasawuf. Ketika itu aku juga menguji
nafsuku dengan meniru ibadah kaum
salaf yang diceritakan dalam kitab-
kitab salaf tersebut,” katanya. Habib Neon wafat pada 30 Jumadil
Awwal 1389 H / 22 Juni 1969 M dalam
usia 71 tahun, dan jenazahnya
dimakamkan di Taman Pemakaman
Umum Pegirikan, Surabaya, di
samping makam paman dan mertuanya, Habib Mustafa Alaydrus,
sesuai dengan wasiatnya. Setelah ia
wafat, aktivitas dakwahnya
dilanjutkan oleh putranya yang
ketiga, Habib Syaikh bin Muhammad
Alaydrus dengan membuka Majelis Burdah di Ketapang Kecil, Surabaya.
Haul Habib Neon diselenggarakan
setiap hari Kamis pada akhir bulan
Jumadil Awal. Pewaris Rahasia Imam Ali Zainal
Abidin Al-Habib Muhammad bin Husein al-
Aydrus lahir di kota Tarim Hadramaut.
Kewalian dan sir beliau tidak begitu
tampak di kalangan orang awam.
Namun di kalangan kaum ‘arifin billah derajat dan karomah beliau sudah
bukan hal yang asing lagi, karena
memang beliau sendiri lebih sering
bermuamalah dan berinteraksi
dengan mereka. Sejak kecil habib Muhammad dididik
dan diasuh secara langsung oleh ayah
beliau sendiri al-’Arifbillah Habib Husein bin Zainal Abidin al-Aydrus.
Setelah usianya dianggap cukup
matang oleh ayahnya, beliau al-Habib
Muhammad dengan keyakinan yang
kuat kepada Allah SWT merantau ke
Singapura. Bukankah bumi Allah itu luas,
sehingga kamu dapat berhijrah di
bumi itu? (Q.S an-Nisa’:97) Setelah merantau ke Singapura, beliau
pindah ke Palembang, Sumatera
Selatan. Di kota ini beliau menikah dan
dikaruniai seorang putri. Dari
Palembang, beliau melanjutkan
perantauannya ke Pekalongan, Jawa Tengah, sebuah kota yang menjadi
saksi bisu pertemuan beliau untuk
pertama kalinya dengan al-Imam
Quthb al-Habib Abu Bakar bin
Muhammad as-Seggaf, Gresik. Di
Pekalongan jugalah beliau seringkali mendampingi Habib Ahmad bin Tholib
al-Atthos. Dari Pekalongan beliau pidah ke
Surabaya tempat Habib Musthafa al-
Aydrus yang tidak lain adalah
pamannya tinggal. Seorang penyair,
al-Hariri pernah mengatakan: Cintailah negeri-negeri mana saja
yang menyenangkan bagimu dan
jadikanlah (negeri itu) tempat
tinggalmu Akhirnya beliau memutuskan untuk
tinggal bersama pamannya di
Surabaya, yang waktu itu terkenal di
kalangan masyarakat Hadramaut
sebagai tempat berkumpulnya para
auliaillah. Di antaranya adalah Habib Muhammad bin Ahmad al-Muhdor,
Habib Muhammad bin Idrus al-Habsyi,
Habib Abu Bakar bin Umar bin Yahya
dan masih banyak lagi para habaib
yang mengharumkan nama kota
Surabaya waktu itu. Selama menetap di Surabaya pun Habib Muhammad al-
Aydrus masih suka berziarah,
terutama ke kota Tuban dan Kudus
selama 1-2 bulan. Dikatakan bahwa para sayyid dari
keluarga Zainal Abidin (keluarga ayah
Habib Muhammad) adalah para sayyid
dari Bani ‘Alawy yang terpilih dan terbaik karena mereka mewarisi asrar
(rahasia-rahasia). Mulai dari ayah,
kakek sampai kakek-kakek buyut
beliau tampak jelas bahwa mereka
mempunyai maqam di sisi Allah SWT.
Mereka adalah pakar-pakar ilmu tashawuf dan adab yang telah
menyelami ilmu ma’rifatullah, sehingga patut bagi kita untuk
menjadikan beliau-beliau sebagai
figur teladan. Diriwayatkan dari sebuah kitab
manaqib keluarga al-Habib Zainal
Abidin mempunyai beberapa
karangan yang kandungan isinya
mampu memenuhi 10 gudang kitab-
kitab ilmu ma’qul/manqul sekaligus ilmu-ilmu furu’ (cabang) maupun ushul (inti) yang ditulis berdasarkan
dalil-dalil jelas yang hasilnya dapat
dipertanggungjawabkan
sebagaimana yang telah diriwayatkan
oleh para pakar dan ahli (para
ashlafuna ash-sholihin). Habib Muhammad al-Aydrus adalah
tipe orang yang pendiam, sedikit
makan dan tidur. Setiap orang yang
berziarah kepada beliau pasti merasa
nyaman dan senang karena
memandang wajah beliau yang ceria dengan pancaran nur (cahaya). Setiap
waktu beliau gunakan untuk selalu
berdzikir dan bersholawat kepada
datuk beliau Rasulullah SAW. Beliau
juga gemar memenuhi undangan
kaum fakir miskin. Setiap pembicaraan yang keluar dari mulut beliau selalu
bernilai kebenaran-kebenaran
sekalipun pahit akibatnya. Tak
seorangpun dari kaum muslimin yang
beliau khianati, apalagi dianiaya. Setiap hari jam 10 pagi hingga dzuhur
beliau selalu menyempatkan untuk
openhouse menjamu para tamu yang
datang dari segala penjuru kota,
bahkan ada sebagian dari
mancanegara. Sedangkan waktu antara maghrib sampai isya’ beliau pergunakan untuk menelaah kitab-
kitab yang menceritakan perjalanan
kaum salaf. Setiap malam Jum’at beliau mengadakan pembacaan Burdah
bersama para jamaahnya. Beliau al-Habib Muhammad al-Aydrus
adalah pewaris karateristik Imam Ali
Zainal Abidin yang haliyah-nya agung
dan sangat mulia. Beliau juga memiliki
maqam tinggi yang jarang diwariskan
kepada generasi-generasi penerusnya. Dalam hal ini al-Imam
Abdullah bin Alwi al-Haddad telah
menyifati mereka dalam untaian
syairnya: _Mereka tetap dalam jejak Nabi dan
sahabat-sahabatnya
Juga para tabi’in. Maka tanyakan kepadanya dan ikutilah jejaknya_ _Mereka menelusuri jalan menuju
kemulyaan dan ketinggian
Setapak demi setapak (mereka
telusuri) dengan kegigihan dan
kesungguhan_ Diantara mujahadah beliau r.a, selama
7 tahun berpuasa dan tidak berbuka
kecuali hanya dengan 7 butir kurma.
Pernah juga beliau selama 1 tahun
tidak makan kecuali 5 mud saja. Beliau
pernah berkata, “Di masa permulaan aku gemar menelaah kitab-kitab
tasawuf. Aku juga senantiasa menguji
nafsuku ini dengan meniru
perjuangan mereka (kaum salaf) yang
tersurat dalam kitab-kitab itu”.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar