Laman

Selasa, 06 Desember 2011

Datu Niang Thalib (salah satu murid datu Suban)

Di daerah Rantau terdapat sebuah cerita rakyat yang mengisahkan seorang datu yang mempunyai kesaktian sangat tinggi, hanya dengan menghentakkan kaki ke tanah maka orang-orang yang ada di sekelilingnya akan jatuh tersungkur ke tanah. Datu tersebut bernama Datu Niang Thalib. Konon beliau masih hidup dan menjadi penguasa alam gaib di daerah Pulau Kadap (arah ke Sungai Puting).
Diceritakan juga bahwa apabila masyarakat ingin kesana (memancing) dianjurkan untuk membawa Tali Haduk (serabut pohon ijuk yang dianyam) supaya makhluk gaib tidak mengganggu, hal ini didasarkan pada cerita masyarakat bahwa Tali Haduk sebagai tanda orang tersebut adalah kerabat dari Datu Niang Thalib. Diceritakan juga bahwa Datu Niang Thalib adalah salah satu murid Datu Suban (Tatakan) yang memiliki ilmu Kabauriat Dunia.
Pada zaman dahulu di daerah Tatakan, mata pencaharian masyarakatnya adalah bertani, berkebun dan mencari rotan. Pada suatu hari, berangkatlah 7 orang Desa Muning (Tatakan) untuk mencari rotan di daerah hutan rawa Nipah Habang, Ketujuh orang itu adalah Pungut, Kaliangat, Dunguh, Umpangan, Kutui Umping, Durni Indang, dan Munat Incang.
Ketujuh orang ini berjalan memasuki hutan rawa yang sangat lebat ditumbuhi segala macam pohon yang hidup di daerah rawa. Rotan juga tumbuh subur disana. Setelah mereka tiba di daerah Nipah Habang yang kaya akan rotan, mereka pun langsung menebang rotan yang mereka cari.
Pada umumnya masyarakat setempat tidak berani memasuki daerah tersebut karena konon diceritakan di sana banyak dihuni makhluk gaib, terutama hantu yang suka mengganggu. Sudah banyak orang kampung yang melihat wujud-wujud yang menakutkan di daerah tersebut.
Dalam waktu singkat ketujuh orang tersebut sudah berhasil menebang rotan yang mereka perlukan. Rotan yang sudah ditebang dibuang kulitnya dan kemudian dijemur, karena proses penjemuran yang memerlukan waktu cukup lama, maka mereka bermalam selama tiga hari tiga malam. Setelah kering, rotan diikat, masing-masing seratus batang per ikat. Mereka pun pulang dengan membawa masing-masing satu ikatan.
Dalam perjalanan pulang, mereka bertemu dengan hantu yang sangat besar, hantu itu tidur di atas Pulantan (rumput liar yang sering tumbuh di pinggir sawah) yang tingginya hampir 15 meter. Saking besarnya, hantu itu tidur bersandar dipohon tersebut.
Begitu melihat hantu tersebut, ketujuh orang itu sangat ketakutan, meskupun hantu tersebut sedang tidur dan tidak mengetahui keberadaan mereka. Hantu itu tertidur sangat pulas dan dengkurannya terdengar sangat keras, hampir sama dengan suara harimau yang sedang marah.
Diantara ketujuh orang tersebut, hanya Durni Indang yang berani, sedangkan yang lainnya sudah bersiap-siap untuk lari. Durni Indang menyarankan pada temannya yang lain untuk mengikat hantu tersebut dengan rotan yang mereka bawa, akan tetapi yang lainnya menolak karena sudah sangat ketakutan.
Oleh karena itu, Durni Indang mengikat hantu itu sendirian, mulai dari ujung kaki sampai kepada bagian kepalanya. Ketujuh ikatan rotan yang mereka bawa habis digunakan untuk mengikat hantu itu. Meski sudah diikat, hantu tersebut tidak terbangun, malah semakin nyenyak tidurnya dan dengkurannya semakin keras.
Durni Indang berusaha membangunkan hantu itu dengan berteriak keras di depan telinganya yang besar, tapi ia tidak juga bangun. Durni Indang kemudian mencabut sebatang pohon yang cukup besar dan memukulkannya ke bagian biji kemaluan hantu itu. Setelah memukulkan pohon tersebut, kemaluan hantu tersebut bereaksi. Hantu itu kencing dan menggeliat bangun. Rotan yang diikatkan di sekujur tubuhnya putus dengan sangat mudahnya. Dengan raut muka yang marah dan sangat menakutkan, hantu itu melihat ke arah Durni Indang, Durni Indang pun lari ketakutan, tetapi dengan sangat mudahnya Durni Indang berhasil ditangkap oleh hantu itu hanya dengan mengayunkan tangannya ke depan, oleh karena ukuran tubuhnya yang sangat besar.
Durni Indang diletakkan di atas telapak tangannya dan diputar-putar seperti mempermainkan bola pimpong. Hantu itu sangat marah karena telah dibangunkan dari tidurnya.
Durni Indang terbunuh setelah diremas-remas, dan tubuhnya yang remuk kemudian dimakan oleh hantu itu. Hantu itu sebenarnya masih lapar, tapi karena tidak ada lagi yang bisa dimakan, maka ia pun tidur kembali.
Keenam orang yang berhasil melarikan diri, mendatangi kediaman Datu Niang Thalib di daerah hutan Hariyung Danau Belantai. Mereka menceritakan kejadian yang mereka alami dan apa yang dilakukan hantu itu pada Durni Indang kepada Datu Niang Thalib.
Setelah selesai bercerita, Datu Niang Thalib pergi sendirian ke tempat hantu tadi tidur. Datu Niang Thalib menepuk tangan hantu tersebut dan hantu itu langsung terbangun dan duduk dengan lemah lunglai karena sangat ketakutan melihat Datu Niang Thalib dihadapannya dengan raut muka yang menampakkan kemarahan.
Datu Niang Thalib berkata kepada hantu itu bahwa yang dimakannya itu adalah anak-cucunya dan Datu Niang Thalib akan membunuh hantu tersebut sebagai balasannya. Hantu tersebut meminta ampunan dari Datu Niang Thalib, tetapi Datu Niang Thalib tetap marah dan tetap berniat untuk membunuh hantu tersebut. Hantu itu mengajukan permintaan terakhirnya, ia ingin menjadi saudara angkat Datu Niang Thalib.
Makhluk gaib tersebut beralasan bahwa ia bukan hantu, sedangkan mukanya yang menyeramkan dan tubuh yang besar tersebut hanya merupakan baju yang dipakainya. Ia hanya sebagai penjaga daerah itu dari gangguan orang luar. Makhluk gaib itu kemudian melepaskan pakaiannya dan ternyata dibalik pakaian itu, hantu tersebut adalah pemuda yang sangat tampan, gagah dan berwajah simpatik.
Sebagai tanda persaudaraan, pemuda tersebut berjanji akan mengawinkan Datu Niang Thalib dengan adik perempuannya yang sangat cantik dan memiliki kulit putih kekuning-kuningan karena belum pernah terkena sinar matahari. Datu Niang Thalib ternyata juga termasuk laki-laki mata keranjang sehingga ia pun akhirnya sangat tertarik dengan janji yang diberikan pemuda tersebut, marahnya pun kemudian mereda.
Datu Niang Thalib kemudian dibawa oleh pemuda tadi ke rumahnya untuk melihat adik perempuan yang diceritakannya.
Setelah berjalan cukup lama, maka sampailah mereka ke kampung pemuda tersebut. Ternyata kampung itu adalah sebuah kerajaan megah. Datu Niang Thalib diperkenalkan dengan adiknya yang cantik dan tanpa berpikir terlalu lama, Datu Niang Thalib menikahi adik dari pemuda itu.
Setelah sepuluh hari kepergian Datu Niang Thalib, orang kampung Muning geger karena ia belum kembali, terlebih-lebih istri dan anaknya yang gelisah karena takut terjadi sesuatu yang buruk dengan suaminya. Istrinya tersebut kemudian melaporkan kejadian ini pada Datu Murkat.
Datu Murkat adalah seorang tertua dan dituakan di kampung Muning. Ia sangat dihormati oleh masyarakat kampung Muning karena kebaikan dan wibawanya, serta kesaktiannya yang sangat tinggi.
Ia merasa ikut bertanggungjawab atas apa yang telah menimpa keluarga Datu Niang Thalib. Setelah mempertimbangkan segala sesuatunya, Datu Murkat pun pergi mencari keberadaan Datu Niang Thalib. Datu Murkat didampingi oleh empat orang yang kesaktiannya setara denga kesaktian Datu Niang Thalib, keempat orang tersebut adalah Datu Karipis, Datu Ungku, Datu Taming Karsa dan Datu Ganun.
Berdasarkan keterangan dari enam orang pencari rotan yang berhasil selamat dari makhluk besar tadi, maka dengan mudahnya Datu Murkat dan keempat orang yang menyertainya, makhluk besar tersebut berhasil ditemukan dan Datu Murkat menangkap makhluk besar tersebut hanya dengan sebelah tangannya.
Dengan nada marah, Datu Murkat menanyakan keberadaan Datu Niang Thalib. Makluk gaib tersebut sangat ketakutan dan mengatakan bahwa Datu Niang Thalib dalam keadaan baik dan tidak terjadi sesuatu yang buruk terhadapnya, serta menceritakan bahwa Datu Niang Thalib telah memperistri adik perempuannya. Datu Murkat tidak percaya Datu Niang Thalib mau memperistri adik dari hantu yang wajahnya sangat menakutkan.
Setelah menjelaskan duduk perkaranya secara rinci, bahwa ia bukanlah hantu dan bentuk tubuhnya yang besar adalah hanya merupakan baju yang dipakinya saja, maka Datu Murkat dan keempat orang lainnya mengikuti pemuda tampan tersebut ke kampung tempat keberadaan Datu Niang Thalib.
Sebelum menemui Datu Niang Thalib, Datu Murkat dan keempat orang pendampingnya dibawa untuk menemui Raja untuk melaporkan kedatangan mereka di kampung kekuasaan raja tersebut.
Kemudian rombongan Datu Murkat dibawa menemui Tuan Putri. Mereka sangat kagum dengan kecantikan Tuan Putri dan terlebih-lebih tidak percaya bahwa laki-laki yang ada di sampingnya adalah Datu Niang Thalib.
Datu Niang Thalib meminta maaf kepada Datu Murkat karena telah merepotkan dan tidak memberi tahu bahwa ia telah tinggal menetap di sana. Setelah menjelaskan secara panjang lebar, Datu Murkat dapat mengerti.
Rombongan Datu Niang Thalib dijamu makanan dan minuman oleh Tuan Putri dan Datu Niang Thalib di kerajaannya. Mereka berbicara dan bergurau dalam jamuan tersebut.
Setelah hari menjelang sore, rombongan Datu Murkat minta pamit pulang. Istri muda Datu Niang Thalib menganjurkan agar mereka bermalam di kerajaannya. Tetapi Datu Murkat beralasan bahwa mereka takut disangka mengalami hal yang buruk akan mereka oleh orang-orang kampung Muning apabila bermalam di sana.
Sebelum mereka pulang, istri Datu Niang Thalib memberikan bungkusan kain kuning yang di dalamnya terdapat emas seberat setengah kilogram kepada Datu Murkat dan keempat orang yang menyertainya, selain itu juga satu bungkusan untuk istri Datu Niang Thalib di kampung Muning.
Datu Niang Thalib berpesan kepada rombongan Datu Murkat, bahwa apabila nanti anak-cucu mereka memasuki kawasan hutan di sekitar kerajaan itu, mereka harus membawa Tali Haduk karena penjaga kawasan hutan di daerah itu sudah diberi pesan bahwa yang membawa tali haduk adalah anak-cucu Datu Niang Thalib.
Sambil membicarakan tentang Datu Niang Thalib yang telah memiliki istri yang sangat cantik dan kerajaan yang megah, tidak terasa perjalanan rombongan Datu Murkat telah sampai di kampung Muning. Mereka langsung menemui istri Datu Niang Thalib dan menceritakan bahwa Datu Niang Thalib telah menetap dan memperistri seorang perempuan di sana. Pada awalnya istri Datu Niang Thalib tidak percaya dengan cerita itu, tapi begitu melihat bungkusan emas yang diberikan istri muda Datu Niang Thalib di sana, maka ia pun merasa sedikit terhibur dan dengan pasrah menerima apa yang telah terjadi pada dirinya dan anak-anaknya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar